Kosa Kata Lebam

Kepala ini berisik sekali, nyaris pecah — tak terkendali. Suara juga kian parau sudah sejak empat hari yang lalu, proses catat mencatatku sedemikian terganggu, daya curah membaca ku sedikit demi sedikit menurun performanya. Sempat mendekap sakit selama dua hari sebab terasa sudah tak berdaya untuk sehat. Pun peristiwa demi peristiwa datang silih berganti tak kenal istirahat. Terlintas sepersekian detik dalam lamunan untuk pulang, namun beberapa tanggungan kian menjebak fisik ini agar bermukim lebih lama. Beberapa hal kadang tidak terlalu signifikan untuk dikerjakan, hanya sebatas menghargai seorang “kawan”, yang jenakanya ternyata tidak ada satupun itikad untuk menghargai balik.
Lalu, mustahil pula membuat orang-orang terdekat agar mengerti dan paham situasi dan kondisi ini, justru berpotensi semakin runyam, jemu, dongkol. Buktikan, apakah ada suatu hubungan sosial yang tidak hegemonik? Jika ada, beri tahu saja. Aku ingin mempelajarinya sampai khatam tuntas dari batang akarnya sampai getah dagingnya. Resiko sosial pun masih berlaku, jika berani menanggung lanjutkan saja. Jika tidak, lebih baik pilih saja untuk bermesraan dengan pikiran sendiri beserta segala macam bentuk silang sengkarutnya. Berkali-kali sempat terpikir untuk mengakhiri hidup, namun sepertinya jiwa masih lemah, kuyu, terlalu takut menghadapi kematian dan menjalani kehidupan setelahnya — jika pun ada.
Sejauh kaki melangkah — sampai detik ini, aku akhirnya sadar bahwa aku pun masih “manusia’. Segala kekhilafan dan keluputan senantiasa mawjud dalam padanya. Namun sepertinya nihil lagi nir-makna. Hidup hanya sebatas menunda kematian, kematian pun menjadi misteri bagi setiap insan berotak bernama manusia. Dunia sudah berjalan jutaan abad lamanya, satu kepala manusia menyumbang dua per tiga abad saja durasinya. Lantas, para manusia itu menjadi kikir nan bajingan seolah-olah sang penguasa peradaban dengan menguasai manusia-manusia sesamanya? Betapa bedebahnya makhluk comberan yang biasa disebut “manusia” itu.
Jika saja semuanya paham dan mengerti, betapa rentan sekali pikiran setiap orang untuk direkayasa. Manusia-manusia yang mempunyai pengalaman minor dalam setiap laku sosial historisnya, akan cenderung mudah sekali untuk dikuasai pemikirannya secara sadar maupun tak sadar oleh orang-orang tertentu yang menghendaki. Maka — setidaknya sampai narasi ini ku tulis dan seminim pengetahuan ku, orang-orang tersebut dipelihara, dikontrol, dikondisikan sebagai bentuk penguasaan, biasanya dengan dalih upaya-upaya rehabilitasi, distribusi pemikiran, hibah atau bantuan-bantuan, sosialisasi dan lain lain.
Dan peluk erat untuk jiwa-raga yang terluka. Meniti sabar yang terus diterpa badai Membasuh getir di setiap getarnya. Memupuk rasa untuk tidak binasa. Tetap melekat. Ambillah jeda jika masih ada debar kekhawatiran. Redakan ragumu, sandarkan bahumu. Mungkin saja kita akan mengalami situasi yang paling tengik. Entah esok, lusa, atau nanti. Jangan dulu mati. Tarik kembali gendewamu. Tak usah terburu-buru. Bidik dengan tenang. Rebut kembali bahagiamu. Kau berhak atas itu.
Aku ingin mulai menulis buku. Mencicil saja sedari sekarang. Tapi membosankan jika sendirian. Maka dari itu ku ajak seseorang untuk menemaniku dalam proses pembuatannya. Ku harap berjalan dengan baik tanpa ada halangan satu dan lain hal, aamiinn.
Ruang Nihil,
Jum’at, 30 Juni 2023
Al-Faqir Al-Mustadh’afin Muhammad Fairus Farizki